Perjuangan Abdillah Onim Mendirikan Rumah Menghafal Alquran di Palestina

Perjuangan Abdillah Onim Mendirikan Rumah Menghafal Alquran di Palestina

Baru Sebulan Berdiri, Hancur Dihantam Roket \"5284_4012_oke-F--Boks-Abdillah-Onim-sesaat-setelah-bangunan-kelar-foto-Istimewa\" Aksi kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) membawa Abdillah Onim ke jalur Gaza. Dia memprakarsai berdirinya Graha Daqu. Sayang, rumah bagi penghafal Alquran itu kini luluh lantak karena perang. *** SENIN, 7 Juli 2014, pukul 14.00 waktu setempat suara menggelegar terdengar dari dalam Graha Daqu (Daarul Qur’an). Dentuman itu berasal dari roket berkekuatan 1 ton yang meluncur dari pesawat F-16 milik tentara Israel. Roket tersebut jatuh hanya sekitar 20 meter dari Graha Daqu yang juga menjadi kediaman keluarga Abdillah Onim. ”Kekuatan roket dan guncangan roket itu sangat dahsyat. Ketika itu saya sedang mengajak main putri saya di dalam rumah dan istri yang sedang hamil tujuh bulan sedang di teras,” cerita Onim kepada koran ini. Onim bergegas mengecek lokasi jatuhnya roket. Dia sempat tak percaya melihat kerusakan yang timbul gara-gara hantaman senjata berat tersebut. ’’Roket itu menimbulkan bongkahan lubang seperti got dengan kedalaman 30 meter dan lebar 50 meter. Besar sekali,’’ katanya. Graha Daqu ikut menjadi korban. Bangunan tersebut rusak. Pohon kurma, pagar, dan atap di lantai 3 bangunan hancur. Melihat kondisi itu, Onim bersama istri dan putrinya memutuskan untuk mengungsi. Apalagi, para tetangga lain yang anaknya setiap hari belajar di Graha Daqu juga meninggalkan rumah. ’’Kami seadanya keluar rumah dulu menjauh dari lokasi yang diroket. Saat mengungsi, istri saya sedang hamil ’’ ujarnya. Praktis hanya ponsel, kamera, dan baju yang melekat yang dibawa mengungsi keluarga Onim. Putri semata wayangnya, Marwiyah Filindo, yang berusia dua tahun hanya bisa menitikkan air mata meninggalkan mainannya. ’’Dia hanya meminta agar bisa membawa satu boneka kesayangannya,’’ ujar Onim. Onim memang harus meninggalkan Graha Daqu. Selain keluarga muridnya sudah mengungsi, dia meyakini kawasan itu akan menjadi sasaran roket berikutnya. Benar saja, dua hari kemudian (9/7) tentara Israel kembali melontarkan roket tepat di Graha Daqu. ’’Pada serangan kedua itu lebih dari 15 roket dijatuhkan persis di Graha Daqu,’’ katanya. Bangunan tiga lantai tersebut pun luluh lantak. Onim mengirimkan link foto dengan objek dia di depan bekas Graha Daqu. Gedung seluas 260 meter persegi yang dibangun atas sumbangan warga Indonesia itu menyisakan puing. Hanya tersisa beberapa tembok, termasuk yang bertulisan Rumah Tahfidz Daarul Qur’an Gaza. Padahal, Onim sudah memasang bendera Indonesia di atap bangunan dengan maksud agar tak menjadi sasaran penyerangan. Untung, pada serangan kedua, sudah banyak yang mengungsi. Dengan demikian, para tetangga Onim yang mayoritas orang tua murid Graha Daqu selamat. Namun, kabar duka dia kirimkan Selasa siang (30/7) kepada koran ini. ’’Roket Israel kembali menyerang tetangga saya di sekitar Graha Daqu. Innalillahi, tiga santri Graha Daqu meninggal bersama orang tuanya,’’ tulis Onim melalui BlackBerry Messenger (BBM). Berdirinya Graha Daqu tidak lepas dari aksi sosial Onim sebagai relawan MER-C pada 1999. Dia pernah pulang ke Indonesia dan kembali ke Gaza pada 2009. Saat itu terjadi agresi Israel yang menewaskan lebih dari 1.600 warga Palestina. Dalam aksi kemanusiaan yang kedua itu, Onim dipertemukan dengan jodohnya. Dia menikah dengan muslimah Gaza bernama Rajaa Hirthani, 28. Pria 31 tahun itu menjadi lelaki asing pertama yang menikahi gadis Gaza. Sang istri merupakan lulusan Universitas Gaza jurusan pendidikan usia dini. Latar belakang itulah yang kemudian menimbulkan chemistry yang sama. Mereka ingin membangun sarana pendidikan bagi anak-anak di Gaza. ’’Setelah menjalankan misi kemanusiaan yang kedua, saya sempat pulang bersama istri ke tanah air. Kemudian, kami memutuskan kembali pada 2012 untuk mendirikan tempat belajar Alquran di Gaza,’’ terang Onim. Saat kembali pada 2012 itu, Onim sudah tak lagi aktif di MER-C. Dia ingin fokus pada pendirian rumah tahfidz. Meski begitu, Onim masih terlibat dalam pembangunan rumah sakit MER-C. Keluarga Onim di Galela, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, sempat berkeberatan melepasnya kembali ke Gaza. Pandangan mereka seperti kebanyakan orang, berangkat ke Gaza sama halnya dengan setor nyawa. ’’Tapi, saya berikan pemahaman ke orang tua saya dan mereka akhirnya mengikhlaskan,’’ kenangnya. Dua bulan berada di Gaza, Onim mendapatkan kabar duka. Ayahnya di Galela meninggal. ’’Saya memutuskan untuk tidak pulang kampung demi terealisasinya RS Indonesia di Gaza dan rumah bagi para tahfidz,’’ ujarnya. Onim sempat terkendala dana saat ingin mendirikan rumah belajar Alquran. Namun, Tuhan membukakan jalan dengan mempertemukannya ke seseorang bernama Sunaryo Adhiatmoko, ketua Yayasan Daqu yang berada di bawah bimbingan Ustad Yusuf Mansur. ’’Beliau tanya apa program saya di Gaza. Saya bilang saja punya niat mendirikan rumah tahfidz. Alhamdulillah, dalam hitungan minggu keinginan saya direalisasikan,’’ ujarnya. Program awal Onim adalah mengambil alih markas tahfidz di salah satu Masjid Umari di Jabalia, Gaza Utara. Di masjid tersebut ada markas tahfidz, tapi tidak ada yang membiayai empat pengajarnya. Onim pun mengambil alih dengan jumlah murid 70 anak. Terakhir sebelum dirudal, murid Onim di Graha Daqu bertambah menjadi 180 anak. Pihak Daqu membantu membangunkan gedung tiga lantai. Sementara itu, tanah untuk gedung tersebut dibeli sendiri oleh Onim seharga Rp 640 juta. Pembangunan rumah itu dimulai 31 September 2013 dan selesai Juni 2014. Sayang, sebulan kemudian bangunan tersebut hancur dihantam roket Israel. Graha Daqu terdiri atas tiga lantai. Yakni, ruang bawah tanah, lantai dasar untuk aktivitas menghafal Alquran, dan lantai atas untuk tempat tinggal Onim. ’’Kabar duka saat di Graha Daqu dirudal saya sampaikan ke masyarakat di Indonesia. Saya meminta maaf dan berharap mereka bersabar,’’ ujarnya. Dia berharap uluran tangan para donatur agar suatu saat membangun kembali Graha Daqu di lokasi baru. Butuh dana sekitar dua Rp 2 miliar untuk membangun di lokasi yang sama. Sementara itu, kalau harus membeli tanah di lokasi baru, biayanya lebih besar. Sekitar Rp 10 miliar. ’’Meski daerah konflik, harga tanah di Gaza sangat mahal,’’ jelas Onim. Selain memikirkan membangun kembali tempat belajar mengaji, Onim tengah menanti kelahiran anak keduanya. Istrinya tengah mengandung anak laki-laki. Dia sudah menyiapkan nama. Yakni, Ismail Nusantara Onim. ’’Ismail itu nama ayah saya. Nusantara itu biar kami ingat terus NKRI dari Sabang sampai Merauke,’’ ujarnya. (*/c10/ca)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: